Dari lahir hingga matinya, manusia tak akan lepas dari proses mengumpulkan pengetahuan. Contoh paling mudah adalah pengetahuan yang didapat melalui proses sensori indera.
Pengetahuan tentang warna, tentang nada, tentang perbedaan panas dingin semuanya didapat melalui pengalaman langsung inderawi.
Pengalaman inderawi hanya menjadi bagian kecil bagaimana manusia memperoleh pengetahuan. Dalam perkembangannya, cara memperoleh pengetahuan telah merentang sedemikian jauh diiringi dengan ragam pengetahuan itu sendiri.
Lantas bagaimana proses manusia mendapatkan pengetahuan?
Lantas bagaimana proses manusia mendapatkan pengetahuan?
Tahap pertama dicapai melalui konseptualisasi. Benda nyata seperti piring atau sendok perlu dikonseptualisasi melalui proses mental. Pengalaman atas piring dan sendok diabstraksi dan kemudian disatukan menjadi pengalaman mental yang tersimpan dalam otak.
Proses ini terjadi berulang tiap manusia mendapatkan pengetahuan baru. Kemampuan konseptualisasi tidak akan sama antara satu orang dengan yang lain. Pengetahuan akan piring dan sendok relatif mudah dipahami karena keduanya merupakan perkakas sederhana, nyata, bisa dilihat maupun diraba.
Namun jenis pengetahuan yang melibatkan struktur yang rumit serta abstak akan membutuhkan usaha dan mungkin juga kemampuan lebih untuk memahaminya. Kabar baiknya, layaknya pengetahuan itu sendiri, kemampuan konseptualisasi juga bisa dilatih dan dikembangkan.
Lantas apakah semua proses ini akan mengantarkan pada pengetahuan yang benar?
Jawabnya belum tentu. Sangat mungkin manusia mengalami kesalahan. Seorang astronom bisa saja salah mengartikan gelombang radio yang terdeteksi dari luar angkasa sebagai sinyal dari makhluk asing, padahal itu hanya pulsar yang dipancarkan oleh kumpulan bintang.
Agar kesalahan bisa diminimalkan diperlukan verifikasi. Verifikasi mesti menunjukkan hasil yang konsisten dari waktu ke waktu. Jika hari ini hasilnya merah dan sebulan kemudian tetap merah, tingkat kepercayaan atas pengetahuan ini akan semakin tinggi.
Begitulah siklus utama manusia dalam memperoleh pengetahuan, konseptualisasi yang mesti diiringi dengan verifikasi. Namun ada satu faktor lagi yang juga berpengaruh, meski ini tidak terkait langsung dengan proses mental, yaitu metode dalam meraih pengetahuan itu sendiri.
Mengambil contoh di dunia sains, saat ini dikenal apa yang disebut sebagai metode ilmiah. Metode ini baru diterapkan luas pada abad ke-17. Sebelum itu, mengikuti Aristoteles, masalah sains cukup dipecahkan melalui proses berpikir tanpa disertai pembuktian langsung atas hasil proses berpikir itu.
Dalam metode ilmiah, semuanya hanya sebatas dugaan sebelum dapat dibuktikan lebih jauh. Hasil berpikir saja tidak akan mencukupi. Melalaui metode ini, pengetahuan akan memiliki validitas lebih baik dan memperkecil peluang kesalahan. Ini menjelaskan, metode memperoleh pengetahuan juga akan menentukan derajat kesahihan atas pengetahuan itu.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar